Selasa, 20 April 2010

Sulitnya Menangani Anak-anak Berkebutuhan Khusus

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

KOMPAS.com - Asmirandah Yanti (5) selalu bersemangat saat diberi buku bacaan anak. Meski matanya hampir melekat di kertas buku, Asmirandah yang memiliki masalah penglihatan—akibat lensa di dalam matanya tak menyatu—tidak pernah bosan melihat-lihat buku bacaannya.
Sudah hampir enam bulan ini Asmirandah diajar secara khusus oleh Munawar, guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi 1 Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bersama Asmirandah, ada Rais (7) yang tangan kanan dan kakinya kurang sempurna, serta Hasbil (3) yang kedua telapak kakinya ke belakang. Mereka belajar bersama-sama.
Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik itu kesulitan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) yang berlokasi di pusat ibu kota kabupaten. Untuk bersekolah di TK atau SD reguler yang dekat dengan rumah juga sulit.
Karena itu, Munawar yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International (HKI), lewat program National Opportunities for Vulnerable Children, melakukan terobosan dengan berkunjung langsung ke rumah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
”Anak-anak itu sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar,” ujar Munawar yang merogoh kocek sendiri senilai Rp 30.000 tiap kali berkunjung ke rumah Asmirandah di Desa Malua.
Di rumah itulah, ketiga anak berkebutuhan khusus itu diajar untuk mandiri dengan keterbatasan fisik mereka, serta bermain dan belajar untuk merangsang keinginan belajar. ”Anggota keluarga juga terlibat supaya mereka mendorong anak-anak ini nantinya mau bersekolah. Mendidik ABK sejak dini bisa membuat lebih percaya diri untuk bersekolah,” kata Munawar.
Mengajar anak berkebutuhan khusus di usia dini di rumah juga dilakukan Sitti Mariani, Pelaksana Tugas Kepala TK Pertiwi 1 Cakke. Sekolah ini sudah lama bersedia menerima anak berkebutuhan khusus yang dibiarkan berbaur dengan anak-anak lainnya.
Selain terjun langsung untuk menjangkau ABK usia dini di kampung-kampung, para guru TK ini juga menyebarkan semangat pendidikan inklusi kepada guru-guru TK lainnya. Upaya ini mulai berbuah, mulai ada guru TK yang mau menjangkau anak berkebutuhan khusus usia dini yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka.

Membuka diri

Para guru TK diajak untuk mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Sekolah pun mulai mengumumkan secara terbuka untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
Menurut Sitti, ABK seperti penyandang autis dan down syndrome yang ada di TK ini justru kemajuannya lumayan. Pasalnya, mereka berbaur dengan anak-anak reguler. Jadi, mereka tertantang untuk tidak ketinggalan dalam belajar.
Meski tidak ditetapkan secara resmi sebagai sekolah inklusi, banyak SD di Kabupaten Enrekang yang mulai menerima ABK di sekolahnya. Kebijakan itu membuat ABK yang tidak bisa mengakses SLB bisa menikmati bangku sekolah, belajar bersama anak-anak lainnya.
Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal.
Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB.
Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani.
Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi.
Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat.
Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka.
Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka.
Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.

Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/06/05475865/Sulitnya.Menangani.Anak.anak.Berkebutuhan.Khusus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar