Jumat, 30 April 2010

Anakku Mengidap Autis

(The Muse; Tonggo Simangunsong; 14 Agustus 2007)

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal.
Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.
“Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” kenang Nia perempuan berdarah Sunda itu.
Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya.
Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu.
Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan.
Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia).
Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. “Dokter langsung tahu setelah memeriksa tingkah laku Kevin,” jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi rutin.
Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. “Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih belum mapan secara finansial dan pengalaman,” kata Nia.
Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin.
Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. “Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan keadaan yang belum mapan,” kata Nia.
Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. “Selama satu tahun Kevin kami rawat di rumah, tanpa bimbingan medis,” katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya dengan mengandalkan buku-buku dan video.
Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta, memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI, yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.
Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu yang juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya; juga orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.
Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. “Bisa mandiri saja sudah cukup,” pinta Nia. Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar) sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun untuk melakukan hal semudah apapun.

Semakin Sayang Karena Autis
Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya.
Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. “Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis,” jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan.
“Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan,” katanya.
Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur.
“Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain,” tambahnya.
Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal.
Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.
“Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis,” katanya dengan raut wajah sedih.
Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. “Saya dan suami akan merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah tanggungjawab kami sebagai orangtua.” Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Orangtua, Terapis Autis Sesungguhnya
Apakah autis bisa disembuhkan? Semua orangtua seperti Nia pasti mengharapkan jawaban yang sama, yaitu: ya. Ini pulalah yang menjadi dasar keyakinan mereka sehingga berbagai upaya pun mereka tempuh.
Penanganan autis sejauh ini dilakukan dengan terapi, seperti terapi perilaku, wicara dan sensori (okupasi). Upaya lain adalah mencari gangguan metabolisme yang mungkin menjadi menjadi faktor pencetus gejala autis. Dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah, faecus, urine dan rambut (terapi biomedis).
Inilah upaya yang juga dilakukan YAKARI sejauh ini. Namun Arief Budi Santoso, konsultan pendidikan di yayasan itu mengatakan, berhasil tidaknya upaya itu tak lepas dari peran orangtua sendiri. Sebab orangtualah orang yang terdekat dengan anaknya.
Arief menjelaskan contoh kasus yang pernah dialami Catherine Maurice, seorang ibu yang memiliki tiga anak yang sama-sama mengidap autis. Seorang ibu yang terbilang berhasil hingga bukunya (“Let Me Hear Your Voice”), banyak menjadi acuan terapi bagi seluruh orangtua yang memiliki anak autis di seluruh dunia. “Catherine telah membuktikannya, “jelas Arief.

Penyebab autis
Sejauh ini penyebab autis dipastikan terjadi karena faktor genetik. Namun meskipun anak membawa predisposisi genetik, bila tidak ada faktor pencetus dari luar, diperkirakan gejala autis tidak timbul.
Selain itu adalah faktor pencetus sebelum kelahiran, seperti keracunan logam berat, terkena infeksi virus rubella, CMV, toxoplasma, jamur. Juga dikarenakan ibu memakan obat-obatan keras terutama pada saat trimester pertama masa kehamilan. Hal ini bisa mengganggu struktur susunan syaraf pusat janin sehingga anak akan menunjukkan gejala autis sejak akhir.
Autis juga muncul akibat faktor pencetus setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh terjadinya infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat, seperti pB, Hg, As, dan Sb. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi) sehingga anak sering sakit.
Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (tepung terigu) yang tidak dapat dicerna anak. Sehingga memberikan efek seperti morphin. Untuk diketahui, fungsi otak yang dipengaruhi morphin adalah bidang prilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.
Bila hal ini terjadi, maka munculah apa yang disebut autis regresif. Gejalanya bermacam-macam. Ketika anak sudah sempat berkembang normal, tapi kemudian terjadi kemunduran pada umur 18-24 bulan. Bahkan, perkembangannya bisa terhenti.
Gejala lain adalah, apa yang telah dipelajari dan dikuasai si anak menghilang perlahan-lahan. Misalnya, anak sudah mampu berbicara, tapi kemudian kemampuan bicara itu hilang disertai dengan munculnya gejala-gejala autis. Gejala ini terlihat dari prilakunya yang tidak normal.

Sumber : http://tonggo.wordpress.com/2007/08/30/anakku-mengidap-autis/

Selasa, 20 April 2010

Sulitnya Menangani Anak-anak Berkebutuhan Khusus

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

KOMPAS.com - Asmirandah Yanti (5) selalu bersemangat saat diberi buku bacaan anak. Meski matanya hampir melekat di kertas buku, Asmirandah yang memiliki masalah penglihatan—akibat lensa di dalam matanya tak menyatu—tidak pernah bosan melihat-lihat buku bacaannya.
Sudah hampir enam bulan ini Asmirandah diajar secara khusus oleh Munawar, guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi 1 Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bersama Asmirandah, ada Rais (7) yang tangan kanan dan kakinya kurang sempurna, serta Hasbil (3) yang kedua telapak kakinya ke belakang. Mereka belajar bersama-sama.
Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik itu kesulitan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) yang berlokasi di pusat ibu kota kabupaten. Untuk bersekolah di TK atau SD reguler yang dekat dengan rumah juga sulit.
Karena itu, Munawar yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International (HKI), lewat program National Opportunities for Vulnerable Children, melakukan terobosan dengan berkunjung langsung ke rumah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
”Anak-anak itu sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar,” ujar Munawar yang merogoh kocek sendiri senilai Rp 30.000 tiap kali berkunjung ke rumah Asmirandah di Desa Malua.
Di rumah itulah, ketiga anak berkebutuhan khusus itu diajar untuk mandiri dengan keterbatasan fisik mereka, serta bermain dan belajar untuk merangsang keinginan belajar. ”Anggota keluarga juga terlibat supaya mereka mendorong anak-anak ini nantinya mau bersekolah. Mendidik ABK sejak dini bisa membuat lebih percaya diri untuk bersekolah,” kata Munawar.
Mengajar anak berkebutuhan khusus di usia dini di rumah juga dilakukan Sitti Mariani, Pelaksana Tugas Kepala TK Pertiwi 1 Cakke. Sekolah ini sudah lama bersedia menerima anak berkebutuhan khusus yang dibiarkan berbaur dengan anak-anak lainnya.
Selain terjun langsung untuk menjangkau ABK usia dini di kampung-kampung, para guru TK ini juga menyebarkan semangat pendidikan inklusi kepada guru-guru TK lainnya. Upaya ini mulai berbuah, mulai ada guru TK yang mau menjangkau anak berkebutuhan khusus usia dini yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka.

Membuka diri

Para guru TK diajak untuk mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Sekolah pun mulai mengumumkan secara terbuka untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
Menurut Sitti, ABK seperti penyandang autis dan down syndrome yang ada di TK ini justru kemajuannya lumayan. Pasalnya, mereka berbaur dengan anak-anak reguler. Jadi, mereka tertantang untuk tidak ketinggalan dalam belajar.
Meski tidak ditetapkan secara resmi sebagai sekolah inklusi, banyak SD di Kabupaten Enrekang yang mulai menerima ABK di sekolahnya. Kebijakan itu membuat ABK yang tidak bisa mengakses SLB bisa menikmati bangku sekolah, belajar bersama anak-anak lainnya.
Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal.
Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB.
Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani.
Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi.
Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat.
Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka.
Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka.
Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.

Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/06/05475865/Sulitnya.Menangani.Anak.anak.Berkebutuhan.Khusus

Senin, 19 April 2010

Mengendalikan Hasrat Biologis Si Autis

Ajis, sebut saja begitu, gemar memegang buah dada perempuan. Semua guru perempuan di sekolah terapinya pernah dijamah oleh remaja autis berusia 14 tahun itu. Sang guru, Yanti, 28 tahun, bercerita, Ajis sering mendadak "mencaplok" dadanya dari belakang--ketika ia sedang mengajar. "Kadang juga dari samping," Yanti bercerita saat seminar autis di Graha Niaga, Jakarta, Sabtu lalu.
Menurut Yanti, pemahaman Ajis sangat rendah mengenai perilaku seks. Ditambah, dia suka mengamuk saat dilarang, dan kembali memegang payudara jika didekati. Yanti mengajar di Miracle School & Therapy di Kedoya Raya, Jakarta Barat. Sudah satu tahun dia mengajar di sekolah inklusi itu. Dia kerap kesulitan menghadapi remaja dengan autistik yang berperilaku seperti Ajis.
Praktisi terapi perilaku, Dra Dini Oktaufik, melihat kemampuan prasyarat Ajis tampak belum terpenuhi. Pertama, soal kepatuhan yang belum bagus, ditambah perilakunya yang juga belum bagus. Dalam kasus ini, Dini menyarankan, pengajar memakai meja besar agar tangan anak tidak bisa meraih dada pengajarnya. Gunakan konsep token behavior--sebagai tanda penghargaan atas perilaku baik untuk anak autis.
Misalnya, dijelaskan oleh Dini, buatlah visual reminder--tulisan "Tangan Baik"--yang diletakkan di atas mejanya. Berikan ke anak tugas sederhana. "Targetnya bukan tugas itu, melainkan untuk mengajari tangannya," ujar psikolog dari Yayasan Intervention Service for Autism and Developmental Delay ini saat seminar.
Katakanlah, jika selama 30 detik tangannya tidak menjamah lagi dada si pengajar, beri kejutan kepadanya. Dini menyarankan untuk memberi makanan yang diletakkan di atas visual reminder tadi (tulisan "Tangan Baik"). Jadi si anak paham bahwa perilakunya itu baik.
Yang penting, jangan banyak menasihati secara verbal ke mereka. "Karena itu tidak diproses dalam otaknya. Autis lebih menyerap secara visual."
Selanjutnya, setelah tangan sudah baik, boleh diganti mejanya dengan yang lebih kecil. Kalau dia kumat lagi, tangkis tangannya sampai tidak berhasil. Kalaupun berhasil menyentuh, yang disentuh tidak boleh heboh. Bisa jadi si anak belum tahu sensasi memegang payudara. Tapi dia lebih mencari sensasi reaksi orang yang disentuh. "Pastikan kita tidak memberikan sensasi yang dia cari," tuturnya.
Lebih jauh, beberapa remaja dengan autistik doyan masturbasi. Memang, masturbasi adalah alamiah--sama seperti orang lapar. Meski dialihkan membaca buku, tetap rasa lapar datang juga. Sehingga pada waktu tertentu, menurut Dini, mereka butuh pelepasan. "Yang harus diajarkan adalah di mana boleh melakukan itu." Misalnya, di kamar mandi di kala sendiri. "Sehingga mereka paham akan privasinya."
Cerita unik juga dipaparkan oleh Nazila--pengajar anak berkebutuhan khusus di Jakarta--dalam seminar itu. Salah satu muridnya menjadikan masturbasi sebagai senjata untuk lari dari proses belajar. Remaja dengan autistik ini seperti mempelajari bahwa masturbasi bisa jadi pelarian dari terapi. "Mereka menganggap sudah lepas dari tugas, dapat yang asyik-asyik lagi di kamar mandi," kata Dini.
Untuk perilaku yang satu ini, Dini menyarankan, sebaiknya anak dibebastugaskan dulu dari program matematika, baca, tulis, dan lain-lain. Beri tugas yang mudah, yang dia pernah kerjakan. Targetnya, menghentikan perilaku lari dari terapi dengan masturbasi. Berikan reward yang tepat dan menarik, sehingga dia lebih merasa mendapatkan reward dari terapis daripada diri sendiri dengan melakukan kegiatan seks tadi. "Lebih baik gunakan the power of reward daripada the power of punishment," Dini menjelaskan.
Banyak contoh lain perilaku seks remaja dengan autistik, mulai kebiasaan memegang kemaluan hingga memperhatikan atau menyentuh bagian vital tubuh orang lain. Kebiasaan ini sering kali baru disadari oleh orang tua seiring dengan anak tumbuh dewasa. "Orang tua kadang baru sadar saat mereka (anak dengan autistik) melakukan hal itu di depan umum," kata Dini.
Bahkan orang tua sering kali salah didik mengenai perilaku seks pada anak dengan autistik. Contoh, Dini pernah "disenggol" lututnya oleh remaja dengan autistik saat sedang berdiskusi dengan orang tua remaja itu. Dan yang dilakukan orang tua anak itu sungguh di luar dugaan Dini. "Mereka malah tertawa dan mengatakan 'Aduh, jangan begitu dong, Mas'," Dini bercerita.
Yang terjadi, tertawa itu malah membawa konsekuensi positif. Maka perilaku negatif si anak yang diganjar konsekuensi positif mengakibatkan perilaku negatif menjadi menetap. "Anak menjadi terbiasa seperti itu," katanya.
Pendiri Masyarakat Peduli Autisme Indonesia, Gayatri Pamoedji, mengakui pendidikan seks untuk anak dengan autistik jarang dibicarakan, sehingga sejumlah remaja dengan autistik memiliki perilaku seks yang tidak baik.
Bisa jadi, menurut Gayatri, seks di Indonesia dianggap tabu atau tidak penting. Selain itu, orang tua lebih berfokus meningkatkan kemampuan anaknya di bidang akademik. "Padahal anak dengan autistik akan tumbuh dewasa," tutur penulis buku 200 Pertanyaan dan Jawaban Seputar Autisme ini dalam kesempatan terpisah.

Agar Mereka Tidak Berbuat Tak Seronok

  • Ajarkan kepatuhan--baik di tempat umum, rumah, maupun di tempat terapis--oleh orang tua, keluarga, maupun terapis.
  • Jangan terus membantu anak secara fisik di kamar mandi. Ini membuat anak permisif untuk bersama orang lain di kamar mandi.
  • Ajarkan privasi dengan langsung berpraktek, misalnya ganti baju harus di dalam kamar.
  • Memahami perubahan fisik yang terjadi pada anak dengan autistik. Tunjukkan fotonya dari waktu kecil hingga besar, agar dia mengerti perubahannya.
  • Buat lingkaran sosial. Ini agar anak tidak memeluk atau mencium orang tidak dikenal. Itu adalah lingkaran di mana anak mengklasifikasikan siapa yang boleh dicium atau dipeluk.
  • Buatkan rekayasa suasana, seperti di luar rumah, agar anak secara seksual tidak berbuat tak seronok. Ajari secara visual bagaimana dia bersikap di mal, jalan raya, dan tempat lain secara dini.
  • Jangan namakan daerah genital dengan sebutan binatang atau yang lain, misalnya menamakan kemaluan lelaki dengan burung--sebut saja kemaluan atau daerah genital.
  • Jangan menakut-nakuti, misalnya dengan bercerita kalau memegang kemaluan terus-menerus nanti meledak atau menggelinding. Dari situ dia akan menerima secara harfiah, sehingga tanpa sadar dia panik dan menunggu kapan kemaluannya meledak. Hal ini membuat konsentrasinya ke arah genitalnya terus.
  • Bagi anak perempuan dengan autistik, biasakan mereka memakai bra sejak remaja. Lalu latih bagaimana dia memasang pembalut saat menjelang masa remaja putri.
  • Jangan lupa berikan hadiah dan buat dia merasa berharga dengan ganjaran itu.
  • Perilaku seks, seperti masturbasi, adalah bagian dari stim--perilaku mengulang-ulang untuk menikmati sensasi. Perilaku ini tidak produktif dan membuat anak dengan autistik tidak berkembang.

 HERU TRIYONO

Sumber: Tempointeraktif.Com
http://kesekolah.com/index.php?option=com_k2&id=7655:mengendalikan-hasrat-biologis-si-autis&view=item&Itemid=50

Derita Autis di Kampung Dhuafa


13 Apr 2010
Nasional Republika

Jerit tangis dan teriakan kencang terdengar dari sebuah kamar di dalam rumah sederhana. Kegaduhan itu menjadi hal yang biasa saja bagi warga sekitarnya. Suara itu milik Rio (14 tahun) yang dikunci di dalam kamar oleh orang tuanya, di sebuah desa di Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Bukan cuma Rio yang mengalami nasib naas seperti itu. Masih afta Rio-Rio lain yang mengalami nasib serupa. Mereka sengaja dikurung di dalam /umah, dengan alasan orang tua tak sanggup mengurus anaknya yang mengalami autis. "Mereka beralasan tak punya uang untuk mencarikan tempat terapi dan pendidikan yang murah untuk anak autis," kata Ketua Yayasan Permata Hati Bunda, Yencet-drita Philia Siregar (Yeyen), di Batam, baru-baru ini.
Tidak mudah memahami dan menyelesaikan persoalan autis pada anak-anak dan remaja. Dalam kamus kesehatan, autisme disebut sebagai gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa, sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Salah satu penghambat proses penyembuhan anak autis. karena faktor mahalnya biaya terapi, termasuk pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus mi. Penanganan masalah anak-anak autis di Indonesia, menurut Melly Budhiman. Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI), belum memadai. Bahkan mungkin belum ada perhatian khusus, baik anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis. dan pusat teraoi yang murah. Dalam bulan ml. dunia mempenngatjnya sebagai Hari Peduli Autis. Beberapa acara digelar untuk menyosialisasikan kepedulian terhadap masalah ini. termasuk di Jakarta. Ahad 11/4).
Pada acara "Jalan Bersama Peduli Autisme", Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal menjelaskan, pemerintah menargetkan jumlah sekolah mklusi bagi penyandang autisme di seluruh Indonesia pada 2014, berjumlah 1.000 unit dari sekitar 200 unit yang ada sekarang.
Selain sekolah inklusi, salah satu yang dibutuhkan anak autis adalah pusat rehabilitasi atau terapi. Memang terapi bisa saja dilakukan di rumah dan tak harus ditangani oleh ahli. Namun dengan syarat, orang tuanya . harus disiplin, tegas, kontinyu dan konsisten.
Umumnya untuk terapi, orang tua harus merogoh kocek antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per pertemuan. Belum lagi jika harus membayar obat-obatan yang dibutuhkan. Biaya sebesar itu menjadi kendala bagi sebagian orang tua yang tidak mampu secara ekonomi. Padahal, di sisi lain, autis tidak hanya dialami oleh orang yang mampu secara ekonomi.
Kasus Rio yang tinggal di perkampungan miskin di Batam, menjadi kepiluan tersendiri. Sejumlah orang tua mengaku pasrah dan lepas tangan menangani derita itu. Bukan soal kejam, sampai harus mengurung atau menyembunyikan anak kesayangan di sebuah kamar.
YPHB menangkap jeritan kaum dhuafa yang memiliki anak berkebutuhan khusus tersebut. Perih dan pedih, itulah jawaban orangtua yang menyerahkan pendidikan anaknya ke yayasan yang bersedia membantu terapi.
Anak-anak yang bernasib seperti Rio menjadi salah satu targetnya. Yayasan itu meminta bantuan sejumlah pihak untuk menangani pendidikan maupun terapi bagi anak-anak autis dari keluarga dhuafa. Untuk biaya sekolah maupun terapi, disesuaikan dengan kesanggupan orang tua. Mereka kmi aktif melakukan kampanye dan advokasi untuk membantu penanganan anak-anak autis melalui berbagai forum di Batam.
Di Indonesia, setidaknya, ada tiga kementerian yangdapat bersinergi dalam menanggulangi masalah autis ini, yaitu Kementerian Kesehatan (berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat tentang autis), Kementerian Pendidikan (melalui pendidikan luar biasa untuk memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang autis), dan Kementerian Sosial (karena banyak orang tua yang tidak sanggup membayar terapi yang mahal).
Bagi Kementerian Sosial, kegiatan rumah autis bagi dhuafa, dapat dijadikan wahana untuk menyebarluaskan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai potensi anak berkebutuhan khusus, seperti autis. "Sekaligus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kekhususan bukanlah faktor penghambat bagi seseorang untuk berhasil," ujar Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Makmur Sunusi.
Pada Hari Peduli Anak Autisme Sedunia masih ada persoalan yang merisaukan, yakni label cenderung negatif terhadap anak-anak autisme ini. "Kondisi Ini tentu saja mengganggu penanganan masalah autisme. karena pemberian label yang cenderung negatif hanya akan menonjolkan kekurangan-kekurangan anak," papar Makmur.
Pernyataan Makmur ada benarnya, sebab masih banyak sekolah yang tidak mau menerima anak-anak autis. Berbagai pusat terapi untuk anak dan remaja autis juga cukup mahal. Padahal, siapa pun dan keluarga mana pun, dari beragam strata sosial, bisa mengidap gangguan itu.
Anak-anak autis juga punya hak. Kondisi seperti ini bukan kemauan mereka. Menghadapi anak autis. pada hakikatnya sama saja menghadapi anak-anak lainnya. Mereka adalah anak dengan dunia dan segala polahnya. Padahal bagi anak dan remaja autis. harapannya sederhana saja, ingin bergaul dengan teman-temannya, bersekolah, dihargai, dan disayangi, sesuai dengan hak-hak anak umumnya.

Sumber : http://bataviase.co.id/node/167347

Pengalaman menyekolahkan anak ‘special need’

Oleh: Ibu Wiwie

Mempunyai 2 anak dimana yang sulung (Andre, 8 tahun) sering sakit karena alergi debu dan gangguan pencernaan, dan anak bungsu (Thomas, 5 tahun) penyandang ASD (Autism Spectrum Disorder), sungguh ternyata tidak mudah. Salah satu kesulitan terbesar adalah mencari sekolah yang tepat untuk Thomas.
Saya bersyukur sekali, bahwa akhirnya 6 bulan terakhir ini perkembangan di sekolah sangat besar, dibanding kondisi awalnya. Berjuang melawan autisme ibaratnya ikut lari maraton : jarak jauh (bisa bertahun-tahun) sehingga perlu persiapan, stamina dan strategi lari yang tepat, bertahap tapi konsisten. Setelah 3,5 tahun jadi peserta ‘maraton autisme’, kemajuan Thomas di sekolah menjadi reinforcement besar, obat kuat penambah semangat untuk terus ikut lari, tetap dalam barisan peserta maraton . . . walaupun garis finish belum terbayang.  Jalan mungkin masih sangat panjang, tapi lebih bersemangat karena ada harapan terus, buah-buah mulai terlihat….
Tanggal 20 Mei 2003, saya, guru kelas, konsultan (acara rutin PTCC : Parent-Teacher-Consultant Conference) dan juga guru pendamping (Shadow Aid) bertemu di sekolah untuk membahas perkembangan Thomas di kelas. Hasilnya sangat menggembirakan : bantuan Shadow Aid sudah sangat minimal, hanya diperlukan saat singing time (Thomas tidak terlalu suka nyanyi bersama). Selain itu, kontrol sudah di tangan 3 guru kelasnya. Guru juga sudah berkomunikasi dengan Thomas dengan nada suara biasa dan tanpa usaha ekstra untuk menarik perhatiannya. Bila tiba-tiba dia tersadar ada perubahan aktivitas, Thomas sudah bisa bertanya pada temannya, misalnya : ’kita mau ngapain?’ atau ‘kita mau kemana?’. Dia juga tidak segan-segan untuk minta bantuan temannya bila ada kesulitan. Walaupun sedang asyik mengerjakan aktivitas kesukaannya (origami, membaca buku), Thomas akan segera bergabung dengan teman-temannya untuk melakukan aktivitas baru lainnya. Menulis sudah lebih rapi, ada spasi. Kemampuan akademis tidak menjadi masalah, bahkan sering lebih bagus/cepat selesai dari teman-temannya. Yang menjadi ‘concern’ guru 2 minggu terakhir adalah Thomas tiba-tiba suka teriak, kadang tanpa sebab yang jelas. 
Kesimpulannya, Juli nanti Thomas benar-benar memenuhi syarat untuk naik ke TK B. Saat itu, tidak ada berita yang lebih menggembirakan lagi buat kami sekeluarga.

Tanggal 9 Juni saya menerima buku raportnya, dan progres Thomas lebih terlihat jelas dari kacamata sekolah. Kalau di akhir cawu I Thomas masih sangat perlu dibimbing untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di kelas, di akhir cawu III bimbingan masih diperlukan untuk lebih memberikan fokus dan perhatian terhadap diskusi/presentasi yang diberikan secara group. Selain sudah bisa membaca buku cerita dalam bahasa Inggris dengan cukup lancar, dia juga sudah mulai mengerti penjelasan guru dalam kalimat bahasa Inggris yang cukup panjang. Kelemahan yang lain seperti menggambar, mewarnai, menggunting dan melipat sudah bisa diatasi. Kegiatan fieldtrip ke tempat2 umum (Planetarium, Kebun Binatang, Pemadam Kebakaran, dll) menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan buatnya. Yang masih menjadi kesulitan besar adalah mengikuti permainan2 olah raga atau gerak & lagu.
Semua hasil ini berkat kerja sama yang baik antara Sekolah dan Team Terapis ABA (Konsultan, Case Manager, Terapis, Shadow Teacher/Aid). Sejak Oktober 2002 tercipta kerja sama itu dalam bentuk : Observasi di kelas, pencatatan Daily Log di kelas, Shadow Aid, dan PTCC secara rutin.
Yang membuat kami terharu, guru-guru mau tahu lebih banyak tentang autis, semangat untuk ikut seminar/workshop autis, bahkan mau menerapkan apa yang mereka pelajari maupun yang disarankan oleh konsultan. Untuk mencapai tujuan, mereka juga meluangkan waktu untuk ‘playday’ khusus dengan Thomas.Waktu saya sharing di sekolah tentang makalah presentasi yang saya buat untuk eks kantor saya kerja (dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan public awareness tentang autism), hampir semua guru-guru di sekolah itu duduk selama 3 jam lebih, serius menyimak sharing. Banyak pertanyaan, cerminan rasa kepedulian mereka yang tinggi. Sungguh, di luar pengharapan saya.
Syukur pada Tuhan, perjuangan panjang mulai membuahkan hasil dan sejak pindah ke Bintaro kami dipertemukan dengan banyak orang-orang yang sangat membantu : guru-guru sekolah dan team terapis ABA yang lebih kooperatif, dan teman-teman special parent sesama peserta ‘maraton’.
Dua tahun, bahkan setahun yang lalu, hasil seperti ini sama sekali tidak terbayangkan.
Setelah menjalani terapi (ABA) selama 1.5 tahun, pada usia 3 tahun 3 bulan, kami putuskan untuk mencoba memasukkan Thomas ke play group, dengan suatu tujuan : belajar bersosialisasi (walau saat itu sebenarnya kami tidak begitu paham artinya sosialisasi).
Setelah survey beberapa sekolah dan melalui sedikit test akademis, Thomas diterima di suatu sekolah umum di Jakarta Timur yang cukup besar, satu sekolah dengan kakaknya yang masuk kelas 1 SD.  Jumlah murid 35 anak dengan 2 guru, tetapi Shadow Aid diijinkan masuk ke kelas sampai Thomas dianggap bisa mandiri. Di sekolah itu hanya dia yang autis, tapi ada beberapa anak ADD atau ADHD di kelas lain.
Kami ceritakan kondisi Thomas apa adanya, dan bahwa sebenarnya masih membutuhkan banyak terapi, jadi minta diijinkan hanya bersekolah 2-3 hari dalam seminggu, sambil melihat perkembangannya. Dengan pendekatan yang baik, saya juga diijinkan untuk secara periodik merekam perkembangan Thomas di sekolah. Kepala sekolah juga sangat baik, cukup mau tahu tentang autis dengan membaca buku-buku atau makalah seminar yang saya fotocopy. Kadang mereka malah mereferensikan beberapa orang tua yang anaknya mengalami gangguan perkembangan untuk sekedar ngobrol dengan saya. Tetapi mungkin karena sibuk dengan pekerjaan, agak sulit untuk mengajak guru-guru ikut seminar/workshop tentang autis, atau untuk mengundang mereka ke rumah, walaupun mereka tertarik.
Seminggu sebelum sekolah mulai, saya drill Thomas soal makanan (karena diet Gluten dan Casein, CFGF). Dengan bantuan kakaknya, saya ajarkan untuk tidak ambil atau minta makanan orang lain. Hari pertama sekolah dia bilang ‘mau kue itu’ sambil menunjuk temannya yang bawa bekal biskuit Oreo (Oreo dulu jadi reward yang paling disukai kalau terapi). Saya jawab : ‘itu bukan punya Thomas’, dia menurut dan diam. Besoknya dia hanya melihat-lihat bekal teman-temannya sambil menelan ludah, tanpa mengucapkan apa-apa. Duh, rasanya saya yang tidak tahan….sangat tidak tega. Dengan mengingat bahwa terigu hanya akan menjadi racun/morfin buat Thomas, saya mencoba bertahan. Akhirnya sukses setelah 1 minggu, sampai sekarang dia tahu bahwa makanan tertentu dia tidak boleh makan, jadi bila ingin sesuatu dia akan tanya :’Thomas mau ini, boleh nggak?’. Di sekolah sekarang, bahkan teman-temannya yang suka dengan makanan ‘home-made’ Thomas. Kembang goyang kesukaannya, juga menjadi makanan favorit teman-teman dan guru-guru.
Setelah 2 bulan sekolah, Thomas bisa ikut ‘antri’ dengan rapi, bahkan di gereja pernah mengikuti antrian untuk menerima berkat dari pastor, dan dia tetap rapi dalam barisan sampai kembali ke tempat semula tanpa didampingi. Kemajuan yang sangat membuat kami bahagia, kalau bukan di gereja rasanya saya mau bersorak atau menangis.
Tetapi setelah itu kami jarang melihat kemajuan berarti yang lain, bahkan ilmu ‘antri’nya ikut hilang. Di kelas lebih banyak rewel dan menangis, kelihatan tersiksa terlalu lama di sekolah.  Saat guru bercerita di depan dan anak-anak duduk mengelilingi guru, Tom terlihat sangat tidak betah, seringkali rewel minta keluar atau pulang. Tiap pagi sebelum masuk kelas semua murid playgroup – TK berkumpul di aula untuk melakukan beberapa aktivitas bersama (nyanyi, mendengarkan cerita, senam, dll), baru berbaris masuk ke kelasnya di lantai 2. Saat-saat itu menjadi kegiatan yang paling tidak menyenangkan buatnya, hampir tidak ada aktivitas yang dia bisa ikuti atau nikmati.  Kalau sudah tidak tahan, dia rewel minta pulang, nangis atau teriak.
Saat ini kami baru tahu, dulu banyak sekali persiapan yang kurang saat memasukkan Thomas sekolah playgroup di Jakarta Timur. Pertama, walau secara akademis diatas rata-rata teman sebaya, Thomas belum dipersiapkan dengan kemampuan mengikuti aktivitas rutin sekolah maupun (transisi) belajar dalam group. Kemampuan bantu dirinya juga masih kurang, sehingga sering ngompol atau pup di kelas. Dengan keterbatasan pengetahuan kami waktu itu, tanpa sadar prioritas terapi lebih mengejar kemampuan akademis. Kedua, ekspektasi kami sebagai orang tua tidak jelas, saya hanya coba-coba dan berharap sekolah bisa membantu banyak. Ketiga, sekolah itu sebenarnya memang kurang tepat untuk kondisi Thomas : kelas terlalu besar (2 guru 35 murid) seringkali suara guru bahkan tidak terdengar oleh Thomas, ruang kelas yang terbuka dengan banyak suara-suara dari luar menjadi gangguan besar buatnya, mainan yang sama tiap hari (dalam kotak besar) juga tidak cukup kuat menarik minat dan perhatiannya, serta keterbatasan tenaga guru untuk memberi perhatian ekstra buat Thomas. Keempat, tidak ada pihak ke-3 atau profesional yang membantu menjembatani kami dan pihak sekolah. Kelima, pertimbangan keuangan (saya sudah memutuskan berhenti kerja) juga membuat kami berpikir dua kali untuk menyediakan dana lebih untuk Thomas.
Jadi dengan keterbatasan pengetahuan, terapis yang jadi shadow aid dan berada tiap hari di kelaspun, tidak tahu persis apa tugas dan tanggung jawabnya, bagaimana cara bekerja sama yang efektif dengan guru-guru, dsb. Di daerah tempat tinggal saat itu juga tidak ada teman ‘seperjuangan’ yang bisa jadi tempat bertanya, dan tidak ada bantuan dari pusat terapi tentang bagaimana cara mempersiapkan dan mengatasi masalah di sekolah.
Selain Thomas, Andrepun tidak menikmati sekolahnya. Mungkin Andre termasuk anak dengan type belajar dominan kinestetis, yang sulit menerima pelajaran dengan metode klasikal dan serius, atau mungkin karena kurang perhatian dari ibunya, prestasi belajarnya pas-pasan. Perlu 5 jam untuk mengajari PPKN menjelang EHB, belum pelajaran yang lain. Hanya pelajaran agama yang lumayan, karena bisa diajarkan dengan menarik (misalnya main drama dengannya), sehingga cepat ‘dicerna’. Setelah tiap malam bersusah payah menidurkan mereka, pagi hari juga menjadi perjuangan untuk membangunkan & memotivasi ke 2 anak saya untuk bersekolah. Ada saja alasan Andre, yang pura-pura sakitlah, yang ngantuklah…. kalau Thomas hanya nangis, teriak-teriak ‘tidak mau sekolah’.
Tahun itu juga adalah masa-masa paling berat me’manage’ beberapa macam terapi autis (ABA, Okupasi, Speech, diet CFGF, BT). Untuk bisa ketat menjalani diet CFGF, saya harus eksperimen makanan2 ‘halal’ untuk Thomas, padahal saya tidak bisa masak dan tidak suka ke dapur. Untuk sedikit mengerti Biomedical Treatment (BT), saya harus memaksa diri membaca literatur2 bahasa Inggris dengan banyak istilah medis. Sampai saat ini juga masih banyak yang tidak saya mengerti.
Hubungan dengan suami juga menjadi terganggu. Saya menjadi terlalu sensitif dan defensif, padahal kadang-kadang maksud suami hanya memberi saran atau bantuan. Karena sudah berhenti kerja, saya merasa benar-benar ‘terjebak’ di rumah, sibuk mengasihani diri sendiri, dan merasa paling malang sedunia. Syukur Tuhan memberikan suami yang dari dulu selalu berpikir positif, dialah yang selalu bisa mengingatkan saya untuk bisa bersyukur atas setiap kemajuan, walaupun sekecil apapun.
Akhirnya saya dan suami sepakat, untuk melakukan ‘sesuatu’ yang besar untuk merubah kondisi ini.
Atas rekomendasi teman baik, di bulan Maret-April 2002 Thomas ‘trial’ di sebuah playgroup di Bintaro tiap hari Selasa dan Kamis. Perjalanan panjang (4 jam pulang pergi) dari Pulo Gebang - Bintaro, tapi untungnya Thomas bisa dan menikmati terapi di mobil. Ternyata Thomas sangat suka dengan sekolah barunya, tiap hari minta sekolah ke Bintaro.
Saya dan suami ambil keputusan ‘nekat’ dalam 2 minggu : pindah rumah ke Bintaro, cari rumah kontrakan. Banyak teman terkaget-kaget, bahkan kami sendiri juga kadang tidak habis pikir dengan keputusan kami dulu. Tapi mungkin sudah jalan Tuhan.
Saya dan suami juga sepakat Andre harus mendapatkan sekolah yang bagus, sehingga saya bisa konsentrasi pada Thomas, tanpa ‘mengorbankan’ Andre. Syukurlah Andre sangat menyukai sekolah barunya, prestasinya cukup bagus tanpa saya sering ajari, dan kepercayaan dirinya meningkat pesat. Kalau dulu dia melabel dirinya hanya pintar gambar dan Thomas pintar matematika, sekarang semua pelajaran dia suka. Happy ending untuk Andre.
Untuk Thomas, awal pindah ke sekolah baru (SS), saya minta dia tetap di Kindy (play group). Pertimbangannya, walaupun usia dan kemampuan akademis cukup untuk ke TKA, tujuan utama kami adalah bisa bersosialisasi dengan teman-temannya (social mainstream). Thomas masuk Kindy tanpa shadow aid, karena guru-gurunya confidence untuk mengatasi Thomas di kelas. Saya juga percaya saja, karena melihat mereka begitu cekatan dan kelihatannya tahu persis bagaimana mengatasi Thomas saat ngambek dan bagaimana cara menjawab pertanyaan teman-teman sekelas tentang perilaku Thomas yang kadang aneh buat mereka. Dan selama trial juga terbukti Thomas menikmati dan cukup bisa mengikuti pelajaran, walaupun bi-lingual.
Setelah 2 bulan di Kindy, kami kembali bertemu guru dan kepala sekolah untuk membicarakan perkembangannya. Thomas disarankan mencoba ke TKA, karena secara akademis jauh diatas teman-temannya, sehingga setelah lebih dulu selesai mengerjakan tugas, dia selalu minta tugas tambahan atau mengganggu teman-teman dengan perilakunya.
Akhirnya naiklah Thomas ke TKA dan masalah akademis cukup teratasi. Teman-teman barunya yang mungkin karena lebih dewasa daripada di Kindy, ternyata lebih bisa menerima, menyayangi dan sangat memperhatikan Thomas. Pada akhirnya peranan mereka memang sangat besar, karena mulai Januari 2003, ‘social influence’ dari mereka sangat besar buat Thomas. Untuk mengatasi kelemahan Thomas (misalnya naik lift dan takut suara keras) bahkan berhasil dengan mengikut sertakan mereka dalam outdoor terapi dan playday.
Kesediaan sekolah SS untuk menerima dan membantu Thomas sangat besar, tetapi ‘skill’ mereka untuk mengatasi special need masih terbatas, bahkan Thomas murid spesial satu-satunya. Masalah tersebut terlihat saat konsultan ABA bisa menjalin kerjasama dengan sekolah. Aktivitas Thomas di kelas direkam selama 1 minggu dengan camcorder, dan dianalisa. Walaupun jauh lebih baik dibanding di sekolah lama, ternyata masih banyak perilaku Thomas yang ‘inappropriate’, tidur-tiduran di lantai sementara teman-temannya bernyanyi, pipis/pup di kelas, tertawa sendiri, sering bengong, dll. Interaksi dengan guru maupun teman juga sangat minim. Sebenarnya, kalau tidak ada intervensi pihak ke –3, saya sudah jauh lebih puas melihat kemajuan Thomas sejak sekolah di SS. Yang paling terlihat, dia sangat suka sekolah barunya, dan saya percaya kalau anak-anak belajar dengan senang, pasti banyak yang dia bisa pelajari.
Untungnya, guru-guru di SS sangat rendah hati sekaligus semangat tinggi untuk membantu Thomas: saran untuk ada Shadow Aid di kelas diterima. Berdasarkan hasil observasi dan pertemuan rutin dengan guru-guru, di rumah dibuatkan program-program sekolah (school program) yang didesain khusus untuk mendukung perkembangan di kelas. Salah satunya pernah diterapkan 5-10 menit pelajaran tambahan sebelum masuk kelas, khusus untuk pelajaran baru yang Thomas belum tahu, supaya dia confidence di kelas. Tapi setelah ‘social influence’ mulai kuat (hal yang sangat menggembirakan, karena berarti Thomas mulai ‘keluar’ dari dunia autisnya), program ini distop karena Thomas tidak ‘nyaman’ lagi berada sendiri di kelas, sementara teman-temannya masih main di luar. Yang terjadi dia ajak temannya masuk ke kelas, atau dia nyusul main ke playground.
Sebisa mungkin pelajaran baru yang akan diberikan, diinformasikan dulu oleh guru, untuk kami ajarkan dulu di rumah. Kalaupun ada yang terlewat, pelajaran-pelajaran itu diulang lagi di rumah sampai Thomas bisa, tetap dengan suasana seperti di kelas. Ruang keluarga di lantai atas bahkan diatur mirip dengan suasana kelasnya, kadang-kadang kami undang teman sekelasnya untuk main ‘sekolah-sekolahan’ di rumah. Secara periodik ada observasi di sekolah, pertemuan dengan guru dan konsultan (PTCC), dan playday baik dengan teman sekelas maupun dengan gurunya.
Program-program terapi ABA dirancang ulang dengan prioritas mengatasi kelemahan utama Thomas, misalnya Attending Skill dan Social Skill, untuk meningkatkan interaksi dengan teman-teman dan gurunya di sekolah. Kalau sebelumnya dia selalu minta bantuan shadow aid-nya, pelan-pelan diarahkan untuk minta bantuan guru. Setelah beberapa lama mulai biasa berinteraksi dengan guru, secara bertahap mulai dipindahkan ke teman sekelas. Jadi kalau ada yang tidak jelas, atau dia ketinggalan ‘berita’ dari guru,  Thomas diarahkan untuk bertanya pada teman terdekatnya.
Entah karena memang kurang suka nyanyi atau ada hubungannya dengan masalah sensory, Thomas sulit sekali mengikuti aktivitas nyanyi bersama di kelas, walau bisa bernyanyi sendiri dengan cukup keras dan bagus untuk beberapa lagu yang dia suka. Sampai sekarang ‘nyanyi bersama’ masih menjadi salah satu program terapi di rumah, kadang-kadang dengan mengundang teman sekelas atau salah satu gurunya. Pada acara performance akhir cawu I, sementara teman-temannya bernyanyi bersama, Thomas masih asyik sendiri, kadang keluar dari kelompoknya. Pada acara Idul Fitri & Natal bersama, karena masih sulit dengan aktivitas kelompok, Thomas diminta membaca puisi ‘Christmas Day’ sendirian, cukup berhasil dengan latihan intensif selama 2 minggu. Dan di akhir cawu III, Thomas sudah bisa ikut acara gerak & lagu (Makarena) dalam kelompok. Dia selalu berusaha mengikuti gerakan teman-temannya, walau kadang-kadang masih ketinggalan dan sedikit dibantu shadow aid.
Kemajuan yang luar biasa menggembirakan kami, karena di awal cawu I Thomas masih sangat tenggelam di dunia sendiri. Sampai sekarang shadow aid masih berada di kelas, tetapi selain membantu dalam aktivitas nyanyi bersama atau mendampingi acara-acara fieldtrip, tugas selebihnya hanya mencatat daily log dan memastikan Thomas makin mandiri.
Begitulah sharing saya tentang pengalaman pribadi menyekolahkan Thomas. Buat kami sekeluarga semua hal di atas adalah kemajuan besar, sesuatu yang sangat patut disyukuri. Tetapi mungkin, bahkan pasti, tidak sama dengan keluarga lain, karena memang kondisi awal anak berbeda-beda.  Sudah pasti cara penanganan yang paling tepat untuk tiap anak pasti berbeda. Yang mestinya sama bahwa pengaruhnya sangat besar untuk kemajuan tiap anak adalah komunikasi dan kerja sama yang baik dengan suami/istri.
Bila pengalaman diatas saya rangkum jadi satu, jadilah variabel-variabel yang menurut saya harus benar-benar direncanakan, dipersiapkan dan dipertimbangkan untuk mencapai hasil terbaik di sekolah, khususnya buat anak-anak dengan special need  :

Kesiapan anak (sebagian besar bisa diperoleh dari terapi ABA, Speech, dan Okupasi):
  • Kemampuan bantu diri
  • Kemampuan akademis yang cukup
  • Kemampuan bersosialisasi
  • Komunikasi fungsional
  • Transisi belajar dalam group dan melakukan kegiatan rutin
  • Masalah lain (sensory, Fine/Gross Motor, Medical, Diet, dll)

Kesiapan orang tua :
  • Ekspektasi / pengharapan yang jelas dan realistis
  • Mental, fisik, knowledge dan skill
  • Kerja sama / kesepakatan untuk mengusahakan yang terbaik, termasuk dana ekstra untuk pendidikan, SDM, dan materi-materi pendukung
  • Manajemen dengan kebutuhan lain (sibling & anggota keluarga lain, nafkah, dll)


Kesiapan / kecocokan sekolah :
  • Sumber Daya Manusia (knowlegde, skill, attitude)
  • Fisik (bangunan, tata ruang kelas, mainan, dll)
  • Metode pengajaran, materi, misi sekolah

Bantuan Pihak ke-3 (profesional) :
  • Behaviorist (terapis, konsultan), terapist okupasi, speech, dll
  • Dokter, Psikiater, Clinical Psi.

Bantuan Tuhan, Sang Pemilik Sejati dari ‘special child’, untuk memberikan pada kita :
  • Kebijaksanaan untuk mengambil keputusan dengan tepat
  • Bimbingan dan petunjuk untuk mempersiapkan no 1 s/d 4 di atas
  • Ketaatan dan kekuatan untuk tetap menjalankan tugas sebagai ‘special parent’
  • Iman bahwa Dia maha tahu dan pasti memberikan yang terbaik buat kita
  • Kerendahan hati bahwa Dialah satu-satunya tempat bergantung yang paling tepat

            Buat kami, jalan mungkin masih panjang, bahkan masih banyak PR di luar masalah sekolahnya. Saat ini kami juga belum tahu SD mana yang paling tepat untuk Thomas nanti, tapi pengalaman di atas sangat menguatkan hati. Harapan kami tahun depan, selain bisa mendapatkan SD yang tepat (tidak harus besar, megah atau hebat), Thomas juga sudah jauh lebih mandiri, terapi-terapi jauh berkurang, dan kami mulai bisa kembali hidup ‘normal’. Tentunya hidup kami akan lebih ‘kaya dan bermakna’, karena Tuhan memberi kami kepercayaan dan pengalaman ‘spesial’ membesarkan special child.

Sumber : http://puterakembara.org/rm/Sharing.shtml