Jumat, 25 Februari 2011

Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
·         Kebisingan, temperature, dan Kualitas Udara. Menurut Ancok (1989), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akam mempengaruhi emosi para penghuni. Emosi yang semakin kurang dapat dikontrol akan mempengaruhi hubungan sosial di dalam maupun di luar rumah.
·         Kebisingan. Menurut Sarwono (1988) terdapat tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising, yaitu : volume, perkiraan, dan pengendalian.
·         Warna. Warna agak terang juga akan berpengaruh terhadap penglihatan. Area-area yang diberi warna terlalu terang di satu pihak menimbulkan kelelahan mata, juga akan menghasilkan bayangan yang mengganggu. Warna-warna yang terlalu kontras, selain mengganggu juga memberikan terlalu banyak penangkapan mata dan memberi kesan membingungkan (Lang, 1987).

Architectural Features

Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
·         Estetika. Pengetahuan mengenai estetika memberi perhatian kepada dua hal. Pertama, identifikasi dan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui lkemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukkan estetika.

Sumber dan Referensi ;

Jumat, 18 Februari 2011

Metode Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

A.    Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Maksudnya adalah bahwa setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen. Bahkan dengan cara ini dijamin bahwa subjek penelitian dalam suatu kondisi tertentu memiliki peluang yang sama dengan subjek yang sama pada setiap kondisi eksperimen. Dengan cara ini variasi-variasi individu pada subjek penelitian dapat dijadikan alasan adanya perbedaan hasil penelitian, serta adanya kepercayaan yang lebih besar untuk menyimpulkan bahwa hasil penelitian adalah manipulasi-manipulasi dari variabel bebas.
            Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi dari variabel bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang besifat skeptis mengenai hubungan-hubungan dalam eksperimen tersebut. Eksperimenter  tidak dapat memastikan bahwa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan dalam situasi yang amat kompleks dapat diterapkan di luar laboratorium. Dengan kata lain hal ini berkaitan validitas internal dan validitas eksternal, dimana suatu peningkatan validitas internal cenderung akan mengurangi validitas eksternal. Lebih jauh kita akan melihat bahwa eksperimen laboratorium dirancang untuk mengukur hubungan diantara kepadatan dan  perilaku interpersonal tidak selalu membuahkan hasil yang sama jika data dikumpulakan dengan metode yang berbeda (Veitch dan Arkkelin, 1995).

B.     Studi Korelasi
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.
Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat. Ketika korelasi digunakan, maka tidak ada penyimpulan yang dimungkinkan, karena hanya diketahui dari dua atau lebih variabel yang berhubungan satu sama lain. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat menentukan bahwa kepadatan penduduk berhubungan dengan beragam indikator dari patologi sosial dengan menggunakan metode korelasi, tetapi ia tidak dapat memberi pernyataan bahwa kepadatan penduduk menyebabkan patologi sosial. Barangkali keduanya disebabkan oleh faktor lain yang ketiga seperti kurangnya pendidikan atau kemiskinan (Veitch dan Arkkelin, 1995).
Adalah hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan kesimpulan yang jelas menjadi penyebab, karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas-pembatas yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk mengelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tetapi seringkali validitas internalnya lemah.
C.     Eksperimen Lapangan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.
Untuk mencapai pengertian ilmiah terhadap suatu fenomena, seorang ilmuwan seharusnya tidak hanya mengembangkan teori-teori dan mengamati dengan cermat hal-hal yang menjadi minatnya, akan tetapi ia juga harus menentukan metode terbaik, baik untuk menguji teori maupun tujuan pengamatan. Pada analisis akhir, seorang peneliti harus menentukan tujuan spesifik penelitian dan kemudian memilih metode yang palaing layak sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

D.    Teknik-teknik Pengukuran
Agar suatu penelitian akan menjadi ilmiah diperlukan pengamatan-pengamatan yang menggunakan kriteria tertentu, yaitu :
·         Berlaku umum dan dapat diulang-ulang
·         Dapat dikembangkan menjadi skala pengukuran,
·         Memiliki standar validitas dan reabilitas.
Berikut ini akan disajikan beberapa teknik pengukuran yang telah memenuhi beberapa kriteria berupa mudah dibuat, mudah dalam administrasinya, mudah skoringnya, dan mudah diinterpretasikan. Beberapa teknik tersebut antara lain adalah : Self report yang terdiri dari kuesioner, wawancara, dan skala penilaian (Veits dan Arkkelin, 1995).
1.      Self Report
Metode yang paling sering digunakan dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan individu adalah self report. Dengan cara ini, seorang responden ditanya oleh peneliti hal-hal yang berkaitan dengan opini, kepercayaan, perilaku, sikap, dan perasaan. Prosedur self report terdiri dari beragam teknik yang meliputi : kuesioner, wawancara, dan skala penilaian.
2.      Kuesioner
Kuesioner adalah pengembangan yang luas dari teknik paper and pencil self report. Butir (item) umumnya diformulasikan berupa pertanyaan dan dapat pula berupa jawaban faktual (seperti : usia, gender, tingkat penghasilan) sebagaimana halnya dengan respon-respon sikap (seperti emosi, nilai-nilai, dan kepercayaan). Kadang-kadang butir-butir yang ditanyakan merupakan pernyataan yang menunjukkan tingkat kesetujuan/ketidaksetujuan, dan kadang-kadang responden ditanyakan sesuatu untuk menyeleksi dan menentukan pada posisinya dari beberapa kata yang dideskripsikan peneliti.
3.      Wawancara
Bentuk kedua dari self report adalah wawancara. Wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan. Dalam panfdangan ini, proses wawancara menjadi lebih dari skedar percakapan atau sebagaimana disarankan oleh Cannel dan Kahn (dalam Veitch dan Arkkelin, 1995) melibatkan paling tidak lima langkah yang berbeda : 1) menciptakan atau menyeleksi skedul wawancara dan seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan skedul tersebut; 2) memimpin jalannya wawancara; 3) merelkam respon-respon; 4) menciptakan kode angka; 5) mengkoding respon-respon wawancara.
4.      Skala Penilaian
Bentuk terakhir dari self report yang digunakan para ahli psikologi lingkungan adalah skala penilaian. Skala ini memiliki beragam bentuk, termasuk di dalamnya adalah checklist, deskripsi verbal dua kutub, dan skala deskripsi nonverbal.

            Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.

Daftar Pustaka




Minggu, 13 Februari 2011

Pengantar Psikologi Lingkungan

Pengantar
A.    Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
                                                            T L= f(P.L)
            TL = tingkah laku
            f = fungsi
            P = pribadi
            L = lingkungan
            Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
            Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987).

B.     Definisi Psikologi Lingkungan
Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia.
Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagaiperjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.
Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
Sebagai contoh, tengok saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang. Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri.

C.     Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭      Psikologi yang mempelajari manusia
٭      Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
            Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
§  Psikologi Teoritis
§  Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
§  Psikologi Umum
§  Psikologi Khusus

Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan
Pendekatan Teori
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).
Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.
Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan. Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi, sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alam yang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu seting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri.
Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan. Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun
tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka.
Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme. Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia. Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Psikologi Gestalt berekembang pada saat yang berbarengan dengan behaviorisme dan lebih menekankan perhatian kepada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Prinsip terpenting dari cara kerja kalangan Gestalt ini adalah bahwa objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan, dimana hal itu lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagian. Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan.
Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris. Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:
  • Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori
  • Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam
  • Metode yang digunakan tidak konsisten
  • Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke
    penelitian berikutnya.
B. BEBERAPA TEORI
Beberapa pendekatan teori dalam psikologi lingkungan antara lain adalah: Teori Arousal, Teori Stimulus Berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori Stres Lingkungan, dan Teori Ekologi.
Teori Arousal (Arousal Theory) Arousal (Pembangkit). Ketika kita emosional, kita sering merasa bergairah. Beberapa teori telah berpendapat bahwa semua emosi adalah hanya tingkat dimana seseorang atau binatang dihasut. Meski tidak semua orang setuju dengan gagasan ini, tingkat keterbangkitan adalah bagian penting dari emosi. Contohnya, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah dalam kemarahan, ketakutan dan kenikmatan, sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997). Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1985) menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Mandler menamakan teorinya sebagai teori interupsi.
Interupsi pada masalah seperti dikemukakan tadi yang menyebabkan kebangkitan (arousal) dan menimbulkan pengalaman emosional. Suatu hal yang dapat kita petik dari teori ini adalah bahwa orang dapat memperlihatkan perubahan emosi secara ekstrim, misalnya bergembira atau bergairah pada suatu saat, dan mengalami perasaan dukacita atau amarah pada saat yang lain. Arousal dipengaruhi oleh tingkat umum dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat saja menjadi bosan atau tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal-hal yang "tidak ada apa-apanya". Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada yang mendengarkan, membuat hampir semua yang mendengarkannya tidak bertahan lama mengikutinya. Menurut Mandler, manusia memiliki motivasi untuk mencapai apa yang disebut sebagai"dorongan-item arousal sehingga kita dapat berubah-ubah dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya. Hampir semua orang yang memiliki motivasi ini dalam berinteraksi sehari-hari, namun ada beberapa orang yang tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya, sehingga hanya dapat dimunculkan arousal-nya jika benar-benar dalam keadaan yang amat membahayakan.


Daftar Pustaka
Wulandari, Nunuk. 2009.
images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/.../Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt?...