Senin, 19 April 2010

Derita Autis di Kampung Dhuafa


13 Apr 2010
Nasional Republika

Jerit tangis dan teriakan kencang terdengar dari sebuah kamar di dalam rumah sederhana. Kegaduhan itu menjadi hal yang biasa saja bagi warga sekitarnya. Suara itu milik Rio (14 tahun) yang dikunci di dalam kamar oleh orang tuanya, di sebuah desa di Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Bukan cuma Rio yang mengalami nasib naas seperti itu. Masih afta Rio-Rio lain yang mengalami nasib serupa. Mereka sengaja dikurung di dalam /umah, dengan alasan orang tua tak sanggup mengurus anaknya yang mengalami autis. "Mereka beralasan tak punya uang untuk mencarikan tempat terapi dan pendidikan yang murah untuk anak autis," kata Ketua Yayasan Permata Hati Bunda, Yencet-drita Philia Siregar (Yeyen), di Batam, baru-baru ini.
Tidak mudah memahami dan menyelesaikan persoalan autis pada anak-anak dan remaja. Dalam kamus kesehatan, autisme disebut sebagai gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa, sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif.
Salah satu penghambat proses penyembuhan anak autis. karena faktor mahalnya biaya terapi, termasuk pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus mi. Penanganan masalah anak-anak autis di Indonesia, menurut Melly Budhiman. Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI), belum memadai. Bahkan mungkin belum ada perhatian khusus, baik anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis. dan pusat teraoi yang murah. Dalam bulan ml. dunia mempenngatjnya sebagai Hari Peduli Autis. Beberapa acara digelar untuk menyosialisasikan kepedulian terhadap masalah ini. termasuk di Jakarta. Ahad 11/4).
Pada acara "Jalan Bersama Peduli Autisme", Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal menjelaskan, pemerintah menargetkan jumlah sekolah mklusi bagi penyandang autisme di seluruh Indonesia pada 2014, berjumlah 1.000 unit dari sekitar 200 unit yang ada sekarang.
Selain sekolah inklusi, salah satu yang dibutuhkan anak autis adalah pusat rehabilitasi atau terapi. Memang terapi bisa saja dilakukan di rumah dan tak harus ditangani oleh ahli. Namun dengan syarat, orang tuanya . harus disiplin, tegas, kontinyu dan konsisten.
Umumnya untuk terapi, orang tua harus merogoh kocek antara Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per pertemuan. Belum lagi jika harus membayar obat-obatan yang dibutuhkan. Biaya sebesar itu menjadi kendala bagi sebagian orang tua yang tidak mampu secara ekonomi. Padahal, di sisi lain, autis tidak hanya dialami oleh orang yang mampu secara ekonomi.
Kasus Rio yang tinggal di perkampungan miskin di Batam, menjadi kepiluan tersendiri. Sejumlah orang tua mengaku pasrah dan lepas tangan menangani derita itu. Bukan soal kejam, sampai harus mengurung atau menyembunyikan anak kesayangan di sebuah kamar.
YPHB menangkap jeritan kaum dhuafa yang memiliki anak berkebutuhan khusus tersebut. Perih dan pedih, itulah jawaban orangtua yang menyerahkan pendidikan anaknya ke yayasan yang bersedia membantu terapi.
Anak-anak yang bernasib seperti Rio menjadi salah satu targetnya. Yayasan itu meminta bantuan sejumlah pihak untuk menangani pendidikan maupun terapi bagi anak-anak autis dari keluarga dhuafa. Untuk biaya sekolah maupun terapi, disesuaikan dengan kesanggupan orang tua. Mereka kmi aktif melakukan kampanye dan advokasi untuk membantu penanganan anak-anak autis melalui berbagai forum di Batam.
Di Indonesia, setidaknya, ada tiga kementerian yangdapat bersinergi dalam menanggulangi masalah autis ini, yaitu Kementerian Kesehatan (berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat tentang autis), Kementerian Pendidikan (melalui pendidikan luar biasa untuk memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang autis), dan Kementerian Sosial (karena banyak orang tua yang tidak sanggup membayar terapi yang mahal).
Bagi Kementerian Sosial, kegiatan rumah autis bagi dhuafa, dapat dijadikan wahana untuk menyebarluaskan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai potensi anak berkebutuhan khusus, seperti autis. "Sekaligus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa kekhususan bukanlah faktor penghambat bagi seseorang untuk berhasil," ujar Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Makmur Sunusi.
Pada Hari Peduli Anak Autisme Sedunia masih ada persoalan yang merisaukan, yakni label cenderung negatif terhadap anak-anak autisme ini. "Kondisi Ini tentu saja mengganggu penanganan masalah autisme. karena pemberian label yang cenderung negatif hanya akan menonjolkan kekurangan-kekurangan anak," papar Makmur.
Pernyataan Makmur ada benarnya, sebab masih banyak sekolah yang tidak mau menerima anak-anak autis. Berbagai pusat terapi untuk anak dan remaja autis juga cukup mahal. Padahal, siapa pun dan keluarga mana pun, dari beragam strata sosial, bisa mengidap gangguan itu.
Anak-anak autis juga punya hak. Kondisi seperti ini bukan kemauan mereka. Menghadapi anak autis. pada hakikatnya sama saja menghadapi anak-anak lainnya. Mereka adalah anak dengan dunia dan segala polahnya. Padahal bagi anak dan remaja autis. harapannya sederhana saja, ingin bergaul dengan teman-temannya, bersekolah, dihargai, dan disayangi, sesuai dengan hak-hak anak umumnya.

Sumber : http://bataviase.co.id/node/167347

1 komentar:

  1. hati saya sangat pedih begitu mendengar banyak anak autis dari kalangan dhuafa ,kami juga mempunyai permasalahan dengan anak yang sama ,hanya ALLAH memberikan kami ilmu untuk mengatasi ,maka kami pun berbagi kepada semua orang tua yang mempunyai anak autis khususnya kaum dhuafa datang ke tempat praktek kami.dialamat 1.komplek vila mutiara gading 2 blok w6/67 tambun bekasi(081388784037) PICO sabtu-minggu jam 09-16 00 2.radio citra sumedang jlnmayor abdurahman no 251 telp 0261 201478 hari selasa. jam 10-12 00 wib 3.jln apel no 25 paserehan jati wangi sutawangi majalengka hari senin rabu kamis.jam9.00-17.00 wib.(DETEKSI FISIOTERAPY ARRIDLO) hp 085659888757 PIC))

    BalasHapus