Kamis, 03 Maret 2011

Kepadatan

A. Definisi Kepadatan
Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan   menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang.  Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat  memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di  dunia tidak terbatas. Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di  dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara  (misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang  bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial  yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk  adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif  destruktif.
Berdasarkan fenomena yang muncul dari dari realitas kini dan perkiraan  berkembangnya dan timbulnya masalah di masa yang akan datang, maka dalam  perspektif psikologi lingkungan kiranya dipandang tepat untuk menjadikan  kesesakan dan kepadatan menjadi argumen bagi suatu pengkajian secara lebih  dini  dan lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi persoalan-persoalan sosial yang  pasti akan timbul pada masa kini dan masa yang akan datang.
Kepadatan adalah hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.
Berikut definisi kepadatan menurut beberapa ahli :
·         Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
·         Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
·         Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
B. Kategori Kepadatan
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :
·         kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
·         kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
·         kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
·         kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. sehingga suatu ewilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi dan kepadatan rendah.
C. Akibat Kepadatan Tinggi
Taylor (dalam Guilfford,1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).
Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan Mc Farling,1978), menunjukan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi social. Mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk. (dalam Sears dkk., 1994) mecoba membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar (kamar dirancang untuk dua orang). Ternyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporakan adanya stress dan kekecewaan, yang secara nyata lebih besar daripada mahasiswa yang tinggal berdua. selain itu mereka yang tinggal bertiga juga lebih rendah prestasi belajarnya.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut padea akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan menurut Stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darh dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti    meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
·         Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
·         Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
·         Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 1984).
·         Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
·         Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan, 1982).
Menurut Jain (1987) banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak.
D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatn 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, tenyata angka kejahatan/kriminal di sana masih lebih rendah.
PERTUMBUHAN PENDUDUK MENGANCAM KESEIMBANGAN LINGKUNGAN.
Sejak masalah kependudukan dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus lebih dari satu abad yang lalu, maka masalah itu mulai diapandang serta didekati dari  berbagai aspek dan kemudian berkembang menjadi subyek, dengan dimensi aneka ragam. Di negara-negara berkembang hal ini berjalan cepat, karena tuntutan pembangunan nasional telah melibatkan masalah kependudukan sebagai masalah pokok. Berbagai aspek kehidupan mulai terganggu oleh pertambahan penduduk yang cepat, seperti kehidupan sosial ekonomi, budaya politik, hankamnas, dan lingkungan hidup.
Hambatan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara berkembang umumnya karena adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif, yang pada hakekatnya menolak perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia termasuk dalam masyarakat heterogen yang sifatmya tradisional dan religius, misalnya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak adalah investasi bagi orang tuanya di masa depan.
Pola berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi penduduk yang sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional tumbuh subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke Pulau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya.
Perubahan di bidang nilai-budaya memerlukan waktu yang lama dan perlu dilaksanakan dengan seksama. Tetapi, membiarkannya sebagai proses evolusi, berdasarkan berbagai pertimbangan akan memperlambat pencapaian tujuan. Tujuan dalam konteks ini adalah pembangunan segala bidang bagi kesejahteraan rakyat  banyak (Tanah Air, 1983).
Di sisi lain, sebagian pengamat sosial berpendapat bahwa pelaksanaan transmigrasi yang dilakukan selama ini terkesan hanyalah sekedar upaya membuang orang dari kepadatan. Meski ada yang berhasil, secara umum yang ada hanyalah kegagalan, keluhan, jeritan perasaan disingkirkan. Namun, itu dipoles atas nama pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Di antara mereka yang ditansmigrasikan lewat program pemerintah, ternyata tidak sedikit yang pulang kembali ke daerah asalnya. Mereka merasa tidak produktif, tidak dimanusiakan setelah berada di daerah tujuan transmigrasi (Maryoto, 2000).
Bertolak dari pemikiran ini, pemerintah mengadakan usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan program Keluarga Berencana. Namun, sejauh itu KB bukan satu-satunya cara yang sasarnnya terbatas bagi pasangan suami-istri yang masih subur, sedang  golongan muda yang belum menikah terhindar dari usaha tersebut. Padahal pada waktu dekat, mereka akan menjadi “potential acceptor”.
Masalah kependudukan bukan hanya karena naiknya tingkat kelahiran (fertilitas), tetapi juga masalah kepadatan penduduk (density). Pulau Jawa dan Madura misalnya mempunyai kepadatan tertinggi pada tahun 1971, yaitu 576 orang per km2, sedangkan pulau lainnya di bawah 50 orang. Pertumbuhan pendudk dipengaruhi oleh tiga komponen variable demografi yang meliputi fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Apabila masalah kependudukan tidak dapat dibenahi, implikasinya akan semakin kompleks. Aristoteles dalam karyanya berjudul Politics menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penghuni pada suatu  pemukiman dengan melebihi batas tertentu akan mempengaruhi hubungan antara penghuni tersebut. Artinya, terjadi kepincangan kehidupan sosial ekonomi, budaya, politik, dan hankamnas, dan lingkungan hidup.
Setiap usaha pelestarian alam tak lain untuk mendukung lingkungan agar tercapai keseimbangan manakala manusia melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Komponen lingkungan yang terdiri dari manusia, materi, energi, dan kreasi oleh ilmu lingkungan diatur agar komponen serta hubungan timbal baliknya dapat mempertahankan eksistensi manusia, menciptakan dinamika dan kesejahteraan manusia. Pemecahan masalah lingkungan oleh ilmu lingkunganbaru dapat dikatakan berhasil apabila pengaturannya dilaksanakan pada areal ang tetap dengan jumlah manusia yang tetap pula.
Disini terlihat merupakan korelasi belaka dari setiap komponen lainnya, dimana ilmu lingkungan sebagai suatu system lingkungan sebagai suatu system pencegahan terhadap tindak lanjut manusia terhadap kerusakan lingkungan dan sekaligus mencoba mengurangi masalah yang sudah terjadi. Bagaimana seharusnya manusia ditempatkan sebagai faktor utama di dalam pengelolaan lingkungan, karena manusia paling dominan dalam tingkah lakunya terhadap lingkungan sendiri.
Barangkali, konsep demografi George W. Barclay dapat memberikan gambaran yang menarik dari penduduk, bahwa demografi mempelajari tingkah laku keseluruhan dan bukan tingkah laku perorangan. Darwin juga menunjukkan pembuktian pada flora dan fauna, dan Durkheim (Antropolog) melihatnya dalam masyarakat bahwa suatu pertambahan penduduk sementara areal tetap, maka cenderung menghasilkan perbedaan dan pengkhususan. Dampak dari penduduk padat (density) akan menambah kompleksitas struktur sosialnya, yang pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan lingkungan hidup (Tanah Air, 1983).
Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar