Rabu, 10 Maret 2010

Partisipasi Keluarga untuk Anak Autistik

Oleh Sitta R Muslimah

 

Kehadiran anak autistik di dalam keluarga menyebabkan perubahan cukup besar dalam berbagai aspek kehidupan. Orangtua harus memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepadanya secara spesial. Interaksi dan disiplin yang diterapkan harus disesuaikan dengan karakter anak autistik. Dalam kehidupan sehari-hari saudara sekandung semestinya menyesuaikan diri dengan adik/kakaknya yang autistik, seperti interaksi, komunikasi, kegiatan rekreasi, dan makanan yang dikonsumsi.

Tingkat orangtua dalam penerimaan dan pola penanganan anak dengan problematika autisme sangat dipengaruhi tingkat kestabilan dan kematangan emosinya. Pendidikan, status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, struktur dalam keluarga, dan kultur juga sangat melatarbelakanginya. Penerimaan orangtua sangat beragam terhadap kondisi anak dengan gangguan autisme ini.

Semakin tinggi tingkat penolakan, semakin lama rentang waktu reorganisasi yang dapat dilakukan orangtua dalam intervensi yang dilakukan terhadap anak. Semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi yang lebih optimal. Dinamika yang terjadi dalam keluarga sangat berpengaruh ketika menangani anak autistik.

Dalam kondisi itu orangtua memiliki peranan penting untuk mengelola keadaan keluarga secara total. Sebab, persamaan persepsi dan kondisi saling memotivasi di antara pasangan akan sangat menentukan optimisme penanganan anak. Tentu hal ini merupakan kondisi ideal yang hendaknya bisa diciptakan dalam lingkungan keluarga.

 

Memperkecil kesenjangan

Hal utama yang juga menjadi upaya dalam penanganan dan pendampingan anak dengan masalah autisme dari keluarga adalah memberikan bantuan untuk memperkecil kemungkinan timbulnya kesenjangan yang ada dalam tuntutan perkembangnya. Oleh karena itu, Endang Retno dalam makalah berjudul Penanganan Orangtua terhadap Kondisi Anak Autisme (2003) menerangkan tahapan penting yang harus dipersiapkan orang tua.

Pertama, pengenalan anak secara menyeluruh adalah tahap awal bagi orangtua untuk dapat melihat potret anak sesungguhnya. Dengan demikian, kita dapat memahami potensi positif dan kelemahan yang dimiliki anak, baik dari reaksi emosional, pola regulasi, rutinitas kegiatan, pola perilaku, maupun pola interaksi.

Kedua, memiliki keterbukaan dalam mempersiapkan pola dukungan bagi anak. Hal ini terkait dengan pihak praktisi atau ahli, lingkungan sekolah, ataupun persiapan internal keluarga. Ketiga, mempersiapkan program bersama pihak terkait yang memiliki pemahaman dalam melaksanakan program secara terpadu.

Maka, hal terpenting yang harus diberikan orangtua kepada anak autistik bukan hanya pendidikan atau usaha mengatasi perilaku mereka, melainkan hubungan yang dilandasi dengan kasih sayang dan penerimaan tulus. Meskipun membutuhkan perlakuan khusus, anak autistik jangan sampai menjadi pusat dari segalanya. Upaya yang dilakukan tidak boleh menyebabkan orangtua mengabaikan kebutuhan anak-anak lain dan pasangannya. Jadi, perlu ada keseimbangan seluruh anggota keluarga.

Kunci keberhasilan penyembuhan gejala autisme adalah orangtua dan terapi tata laksana perilaku. Tidak cukup dan tidak akan berhasil jika kita hanya tergantung pada ahli terapi. Orangtua pun harus terjun. Maka, saat yang paling baik melakukan terapi adalah sedini mungkin sebelum usia lima tahun karena pada masa ini pertumbuhan dan perubahan berjalan sangat pesat, baik fisik maupun psikis (Hurlock, 2002: 76).

 

Terapi tata laksana

Menurut psikiater anak, baik yang tergabung dalam Yayasan Autisme Indonesia yang berkedudukan di Jakarta maupun di RSUD dr Soetomo Surabaya, kelemahan autisme dapat dikurangi. Menurut Rudy Sutadi, walaupun tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan terapi setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.

Anak autistik perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan serta memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. (Handojo, 2003: 30). Beberapa program terapi penunjang bagi anak autistisk antara lain terapi wicara. Terapi ini membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga mambantu anak berbicara lebih baik. Terapi okupasi untuk melatih motorik halus anak. Terapi bermain mengajarkan anak belajar sambil bermain (http://www.jurnal-kopertisa.com). Terapi medikamentosa berupa pemberian obat-obatan oleh dokter berwenang (http://www.dikdasmen-depdiknas.com). Terapi makanan (diet therapy) untuk anak-anak dengan masalah alergi makanan tertentu.

Menurut Rudy Sutadi, anak autistik harus diet susu sapi karena susu itu mengandung protein kasein dan terigu yang mengandung protein gluten. Tubuh anak autistik tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna. Uraian senyawa yang tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin. Ini terbukti dengan ditemukannya kandungan morfin yang bercirikan kasein dan gluten pada tes urine anak autistik. Keberadaan morfin jelas akan memengaruhi kerja otak dan pusat-pusat saraf sehingga anak berperilaku aneh dan sulit berinteraksi.

Peluang anak autistik untuk \"normal\" kembali cukup besar. Orangtua harus selalu optimis. Jangan sampai terjadi seorang anak yang memiliki peluang untuk \"normal\" menjadi hilang hanya disebabkan pilihan orangtua yang salah dalam menentukan metode dan intensitas terapi.

Penting diingat, kondisi anak sangat berbeda sehingga modal awal dan hasil akhir sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas gejala autisme di antaranya intensitas penanganan dini, tingkat inteligensi anak, kemampuan komunikasi dan sosial, perilaku, konsistensi pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat dalam membantu anak tersebut.

 

SITTA R MUSLIMAH Pemerhati Masalah Anak Usia Dini; Pengajar pada Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Bandung

 

Sumber : http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:partisipasi-keluarga-untuk-anak-autistik&catid=39:artikel-anak&Itemid=115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar